Mengapa Banyak Investor Rugi Saat IHSG Naik

Dipublikasikan pada 11 Oct 2025 11:44 | Publikasi oleh SW. Razak
Mengapa Banyak Investor Rugi Saat IHSG Naik

IHSG sering naik, tapi banyak investor tetap rugi. Konten ini akan membedah alasan sebenarnya mengapa banyak investor rugi saat IHSG naik, dengan merujuk pada data BEI, KSEI, OJK, dan studi perilaku investor. Disajikan dengan gaya analitis dan bahasa manusiawi khas Cuantara.

Setiap kali IHSG naik, media keuangan menyorotnya sebagai tanda pasar sedang optimis. Investor ritel sering menafsirkan kenaikan itu sebagai sinyal aman untuk masuk. Namun, paradoksnya, data menunjukkan banyak dari mereka justru mencatat kerugian ketika indeks mencapai puncak.

Menurut laporan Bursa Efek Indonesia (BEI, 2024), pada kuartal I 2024 IHSG naik 6,3 persen, tetapi lebih dari 54 persen saham justru turun atau stagnan dalam periode yang sama. Ini menunjukkan bahwa pergerakan indeks tidak merepresentasikan keseluruhan pasar. IHSG adalah indeks tertimbang berdasarkan kapitalisasi pasar, sehingga saham besar seperti BBCA, BBRI, BMRI, TLKM, dan ASII memiliki pengaruh dominan terhadap arah indeks. Jika lima saham itu menguat, IHSG bisa naik, meski ratusan saham lain terkoreksi.

Bagi investor ritel yang tidak memiliki saham-saham tersebut, kenaikan indeks tidak membawa keuntungan apa pun. Fenomena ini disebut index-weight illusion  persepsi keliru bahwa kinerja indeks mencerminkan kinerja portofolio pribadi. 

Apakah cuma ini saja ? mari kita bedah lagi menjadi lebih rinci.  

Euforia dan Perilaku Masuk di Waktu yang Salah

Lonjakan IHSG juga sering memicu fear of missing out atau FOMO di kalangan ritel. Ketika indeks naik tajam, mereka merasa terlambat masuk dan buru-buru membeli agar tidak tertinggal. Data KSEI (2023) menunjukkan bahwa jumlah investor baru meningkat 32 persen pada tahun di mana IHSG rebound pasca-pandemi (2021), dan sebagian besar pembelian dilakukan pada saat indeks sudah naik lebih dari 10 persen dari titik terendahnya.

Fenomena ini bukan hal baru. Riset Barber dan Odean (2000) dari University of California menemukan bahwa investor ritel cenderung membeli saham setelah kenaikan besar, dan menjual setelah penurunan pola yang menyebabkan kinerja mereka tertinggal jauh dari indeks acuan. Dengan kata lain, banyak investor tidak rugi karena salah saham, tetapi karena salah waktu.

Kenaikan IHSG juga sering didorong oleh rotasi sektor, bukan pergerakan serentak. Misalnya, pada awal 2024, sektor keuangan mencatat pertumbuhan 9,8 persen, sedangkan sektor properti dan konsumer masih terkoreksi (BEI Quarterly Report, 2024). Investor yang memegang saham properti tidak akan merasakan dampak positif dari kenaikan indeks.

Selain itu, arus dana asing (foreign flow) sangat mempengaruhi dinamika IHSG. OJK mencatat dana asing net buy Rp27 triliun sepanjang 2024, dan sebagian besar mengalir ke saham-saham perbankan besar. Saham dengan kapitalisasi kecil jarang tersentuh, sehingga harganya stagnan. Ketika investor ritel membeli saham lapis dua atau tiga, mereka sering terjebak dalam fase dead money dimana harga tidak naik karena tidak ada aliran modal baru.

Fenomena ini menggambarkan bahwa kenaikan indeks sering merupakan refleksi dari konsentrasi kapital, bukan dari kesejahteraan pasar secara menyeluruh.

Distribusi Tersembunyi Dimana Institusi Menjual, Tapi Ritel Membeli

Dalam setiap tren naik, selalu ada fase distribusi atau periode ketika pelaku besar secara perlahan melepas kepemilikannya kepada investor ritel. Broker summary menjadi alat penting untuk mendeteksi fase ini. Namun, banyak trader ritel membaca data tersebut secara dangkal.

Sebagai contoh, ketika IHSG naik pada Maret 2024, data broker summary RTI Analytics menunjukkan broker asing masih mencatat net buy sekitar Rp1,2 triliun. Namun, jika diperhatikan lebih dalam, volume transaksi ritel justru meningkat tajam, sementara frekuensi beli institusi menurun. Ini menandakan fase distribusi: investor besar menjual dengan nilai besar, tapi jumlah transaksi kecil; investor kecil membeli banyak dalam frekuensi tinggi.

Pergerakan semacam ini menjadi penyebab klasik mengapa harga saham mulai melemah meski IHSG masih terlihat naik  karena kekuatan beli yang tersisa hanya berasal dari ritel, bukan dana besar.

Masalahnya, setelah pembelian dalam jumlah banyak, Banyak investor merasa aman dan menunda mengambil untung karena berharap harga akan terus naik. Namun tanpa target jual yang jelas, keuntungan di atas kertas bisa hilang seketika ketika pasar terkoreksi. Atau dengan kata lain tidak ada Exit Strategy yang bisa didapatkan.

Studi Dalbar Quantitative Analysis of Investor Behavior (2023) di Amerika Serikat menemukan bahwa investor rata-rata kehilangan 4–6 persen dari potensi return tahunan hanya karena kesalahan waktu keluar dari pasar. Di Indonesia, efeknya bahkan lebih besar karena volatilitas saham lebih tinggi. Investor yang tidak menggunakan teknik take profit bertahap (partial TP) atau cut loss otomatis kehilangan kendali terhadap risiko psikologis mereka sendiri.

Dalam konteks IHSG yang fluktuatif, disiplin menentukan waktu keluar menjadi sama pentingnya dengan waktu masuk.

Fundamental Tidak Selalu Sejalan dengan Tren Indeks

IHSG sering kali naik karena faktor makroekonomi seperti stabilitas suku bunga, inflasi terkendali, atau arus modal asing yang masuk. Namun, kenaikan itu tidak selalu didorong oleh peningkatan kinerja fundamental seluruh perusahaan. Contohnya, laporan keuangan semester I 2024 menunjukkan laba bersih sektor barang konsumsi turun 7,4 persen secara tahunan (YoY), sementara IHSG justru naik 5,9 persen pada periode yang sama. Ini menunjukkan bahwa likuiditas dan ekspektasi pasar dapat mengangkat indeks tanpa dukungan peningkatan laba korporasi. Investor yang hanya melihat arah indeks tanpa meneliti laporan keuangan cenderung membeli saham yang naik karena sentimen, bukan karena kekuatan bisnis yang sesungguhnya.

Faktor psikologis juga memperburuk hasil investasi. Saat indeks naik, banyak investor terjebak dalam optimism bias dengan keyakinan bahwa tren positif akan terus berlanjut. Mereka membeli di puncak euforia, berharap harga akan naik lebih tinggi. Ketika pasar mulai berbalik, investor terlambat menyadari risikonya. Di sisi lain, anchoring bias membuat investor terpaku pada harga tertinggi yang pernah dicapai suatu saham. Misalnya, ketika saham BBRI sempat menyentuh Rp6.000, banyak investor menolak menjual di bawah harga itu, padahal fundamentalnya sudah berubah. Akibatnya, mereka menahan saham terlalu lama dan melewatkan momentum rotasi ke sektor lain yang lebih produktif.

Penelitian Daniel Kahneman dan Amos Tversky (1979) dalam Prospect Theory menjelaskan bahwa manusia lebih takut kehilangan uang daripada senang memperoleh keuntungan, dengan rasio sekitar 2:1. Bias ini membuat investor enggan cut loss dan lebih memilih menunggu harga pulih, meski peluang itu semakin kecil. Dalam konteks IHSG yang naik, banyak investor justru terjebak menahan saham rugi karena tidak ingin mengakui kesalahan keputusan sebelumnya.

Selain itu, masalah terbesar berasal dari rendahnya literasi keuangan. Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan OJK 2024, tingkat literasi pasar modal Indonesia baru mencapai 42,7 persen, jauh di bawah literasi sektor perbankan yang sudah mencapai 73 persen. Sebagian besar investor pemula masih mengandalkan sumber informal seperti media sosial, grup Telegram, atau rekomendasi influencer. Pola belajar seperti ini menumbuhkan budaya ikut-ikutan, bukan berbasis analisis data.

Akibatnya, ketika IHSG naik karena faktor kebijakan makro atau teknis pasar, banyak investor tidak memahami penyebabnya. Mereka membeli saham tanpa mengetahui sektor mana yang menjadi motor penggerak indeks atau valuasi saham yang sudah mahal. Kurangnya pemahaman tentang rotasi sektor, manajemen risiko portofolio, dan valuasi wajar menjadi penyebab utama mengapa sebagian investor merugi di tengah pasar bullish.

Harga Bukan Ukuran Nilai

Salah satu kesalahan paling umum adalah menilai saham dari harga nominalnya. Banyak investor menganggap saham berharga Rp100 lebih “murah” dibandingkan saham Rp5.000, padahal keduanya tidak bisa dibandingkan tanpa melihat nilai perusahaan.

Contohnya, saham UNVR dan BBCA yang harganya tinggi justru menawarkan stabilitas dan dividen konsisten. Sebaliknya, saham-saham lapis tiga yang harganya rendah sering tidak punya dukungan fundamental. Data BEI 2023 menunjukkan 62 persen saham dengan harga di bawah Rp500 memiliki rasio utang terhadap ekuitas (DER) di atas 1,5 menjadi  indikator bahwa risiko finansialnya tinggi.

Memahami perbedaan antara harga dan nilai adalah dasar dari value investing. Tanpa itu, investor mudah tergoda oleh “saham murah” yang justru membawa kerugian ketika IHSG turun sedikit saja.

Kesimpulan 

Kenaikan IHSG sering menimbulkan rasa optimis palsu di kalangan investor. Indeks bisa naik karena segelintir saham besar, karena arus dana asing, atau karena ekspektasi kebijakan moneter. Tetapi portofolio investor ritel tidak selalu mencerminkan faktor-faktor itu.

Kerugian terjadi bukan karena pasar menipu, melainkan karena investor gagal memahami strukturnya. Mereka masuk di waktu salah, memilih saham tanpa dasar, dan menunda keluar karena emosi. Untuk bertahan di pasar saham Indonesia, investor perlu lebih dari sekadar menunggu IHSG naik — mereka harus memahami mengapa indeks bergerak, siapa yang menggerakkannya, dan bagaimana memposisikan diri di tengah arus modal besar.(*)

Penulis

Avatar

SW. Razak

Praktisi pasar modal dan forex dengan latar belakang kuat di analisis data selama 15 tahun. Mengembangkan dan mengeksekusi strategi investasi serta trading berbasis data, membangun model kuantitatif, melakukan backtesting, optimasi risiko, dan evaluasi performa portofolio secara disiplin.

Disclaimer

Konten ini disusun untuk knowladge. Setiap analisis atau opini yang disampaikan merupakan pandangan pribadi penulis berdasarkan referensi yang tersaji secara publik. Dapat di jadikan sebagai opini kedua sebelum memutuskan mengambil keputusan investasi. Namun tidak ada jaminan atas keakuratan atau hasil yang ditimbulkan. Anda tetap perlu melakukan riset independen sebelum mengambil keputusan investasi.